BANDUNG - Senin 21 Februari 2005 sekitar pukul 02.00 WIB, tiba-tiba terdengar ledakan keras di kawasan Leuwigajah Kota Cimahi.
Ledakan keras itu diikuti menyertai longsor sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. Longsoran sampah langsung menyapu dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
Dua pemukiman yang jaraknya sekitar 1 km dari TPA Leuwigajah langsung luluh lantak tertimbun sampah. Akibatnya, 157 jiwa tewas.
Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu diduga goyah karena diguyur hujan deras semalam suntuk.
Termasuk diduga terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah. Hal itu juga yang diduga menyebabkan munculnya suara ledakan.
Setelah peristiwa itu terjadi, daerah di kawasan Bandung Raya praktis tidak lagi memiliki TPA.
Salah satu yang paling terdampak tentunya Kota Bandung. Karena Kota Bandung merupakan daerah yang membuang sampah dengan jumlah terbesar ke TPA Leuwigajah saat itu.
Akibatnya, sampah hanya menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Beberapa hari kemudian, TPS tak lagi mampu menampung sampah.
Dalam hitungan hari, hampir di seluruh penjuru Kota Bandung dipenuhi sampah. Kota Bandung terlihat kotor dan jorok. Bau menyengat membuat warga terpaksa lebih sering menutup hidung.
Hingga akhirnya muncul julukan yang amat pahit untuk kota tercinta ini, "Bandung Lautan Sampah".
Nama besar Paris van Java langsung runtuh. Kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai kota yang asri, bersih, dan indah seperti lenyap dari ingatan.
Peristiwa kelam itu akhirnya mulai berangsur normal saat pemerintah membuka TPA Sarimukti. Sampah-sampah akhirnya bisa diangkut ke TPA Sarimukti.
Namun wajib diingat, Kota Bandung tetap tak memiliki TPA. Bahkan TPA Sarimukti hanya sementara. Hingga saat ini, rencana penutupan TPA Sarimukti pun masih bergulir.
Hal ini juga yang selalu diwanti-wanti oleh Wali Kota Bandung, Oded M. Danial.
Ia sangat konsen terhadap masalah sampah. Orang nomor satu di Kota Bandung ini tak ingin peristiwa TPA Leuwigajah kembali terjadi.
Untuk itu, sejak memimpin Kota Bandung, Oded mulai menggulirkan sejumlah program penanganan sampah. Salah satunya yaitu program Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan sampah (Kang Pisman).
Bagi Oded, Kang Pisman tak hanya sekedar cara menangani sampah, tetapi juga bagian dari mengubah peradaban.
"Warga Kota Bandung harus bisa mengelola sampahnya sendiri. Orang yang beradab adalah orang yang bisa menjaga lingkungannya dengan baik," kata ODed dalam sejumlah kesempatan.
Jika tak ingin peristiwa itu terulang, Oded berharap, warga Kota Bandung bisa mengubah pola tindakannya terhadap sampah.
Jika dahulu dikumpulkan lalu dibuang, warga Kota Bandung harus bisa mengumpulkan, memisahkan, dan memanfaatkan sampah. Sehingga bisa menekan sampah yang terbuang ke TPA.
"Bukan hanya berkaitan dengan sisi lingkungan, Kang Pisman juga bisa memberdayakan masyarakat. Melalui sampah, perekonomian warga bisa menjadi lebih baik. Yaitu dengan mengolah sampah menjadi sesuatu yang benilai ekonomis," paparnya.
Kini sudah saatnya warga Kota Bandung terus bergerak mengelola sampahnya dengan bijak. Sampah dikelola sejak dari sumbernya.
Jika tidak, bukan mustahil peristiwan 16 tahun yang lalu kembali terjadi.
Ledakan keras itu diikuti menyertai longsor sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. Longsoran sampah langsung menyapu dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
Dua pemukiman yang jaraknya sekitar 1 km dari TPA Leuwigajah langsung luluh lantak tertimbun sampah. Akibatnya, 157 jiwa tewas.
Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu diduga goyah karena diguyur hujan deras semalam suntuk.
Termasuk diduga terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah. Hal itu juga yang diduga menyebabkan munculnya suara ledakan.
Setelah peristiwa itu terjadi, daerah di kawasan Bandung Raya praktis tidak lagi memiliki TPA.
Salah satu yang paling terdampak tentunya Kota Bandung. Karena Kota Bandung merupakan daerah yang membuang sampah dengan jumlah terbesar ke TPA Leuwigajah saat itu.
Akibatnya, sampah hanya menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Beberapa hari kemudian, TPS tak lagi mampu menampung sampah.
Dalam hitungan hari, hampir di seluruh penjuru Kota Bandung dipenuhi sampah. Kota Bandung terlihat kotor dan jorok. Bau menyengat membuat warga terpaksa lebih sering menutup hidung.
Hingga akhirnya muncul julukan yang amat pahit untuk kota tercinta ini, "Bandung Lautan Sampah".
Nama besar Paris van Java langsung runtuh. Kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai kota yang asri, bersih, dan indah seperti lenyap dari ingatan.
Peristiwa kelam itu akhirnya mulai berangsur normal saat pemerintah membuka TPA Sarimukti. Sampah-sampah akhirnya bisa diangkut ke TPA Sarimukti.
Namun wajib diingat, Kota Bandung tetap tak memiliki TPA. Bahkan TPA Sarimukti hanya sementara. Hingga saat ini, rencana penutupan TPA Sarimukti pun masih bergulir.
Hal ini juga yang selalu diwanti-wanti oleh Wali Kota Bandung, Oded M. Danial.
Ia sangat konsen terhadap masalah sampah. Orang nomor satu di Kota Bandung ini tak ingin peristiwa TPA Leuwigajah kembali terjadi.
Untuk itu, sejak memimpin Kota Bandung, Oded mulai menggulirkan sejumlah program penanganan sampah. Salah satunya yaitu program Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan sampah (Kang Pisman).
Bagi Oded, Kang Pisman tak hanya sekedar cara menangani sampah, tetapi juga bagian dari mengubah peradaban.
"Warga Kota Bandung harus bisa mengelola sampahnya sendiri. Orang yang beradab adalah orang yang bisa menjaga lingkungannya dengan baik," kata ODed dalam sejumlah kesempatan.
Jika tak ingin peristiwa itu terulang, Oded berharap, warga Kota Bandung bisa mengubah pola tindakannya terhadap sampah.
Jika dahulu dikumpulkan lalu dibuang, warga Kota Bandung harus bisa mengumpulkan, memisahkan, dan memanfaatkan sampah. Sehingga bisa menekan sampah yang terbuang ke TPA.
"Bukan hanya berkaitan dengan sisi lingkungan, Kang Pisman juga bisa memberdayakan masyarakat. Melalui sampah, perekonomian warga bisa menjadi lebih baik. Yaitu dengan mengolah sampah menjadi sesuatu yang benilai ekonomis," paparnya.
Kini sudah saatnya warga Kota Bandung terus bergerak mengelola sampahnya dengan bijak. Sampah dikelola sejak dari sumbernya.
Jika tidak, bukan mustahil peristiwan 16 tahun yang lalu kembali terjadi.